Ceritane Wong, Cerita Rakyat, Dongeng, Artikel

Kisah Asal Mula Gunung Merapi

 Gunung Merapi (api berarti api), terkenal sebagai gunung api di Indonesia, adalah salah satu gunung api yang jetangan padat di dunia. Dimana merapi ada di daerah Jawa Tengah. Secara geografis gunung ini ada di batas timur dekat Yogyakarta dan batas Barat dekat Magelang, tepat di tengah antara Jawa Tengah dan Yogyakarta. Gunung Merapi juga dikenal sebagai “ratu gunung” karena keindahan dan ketinggiannya yang tak tertandingi di jagat raya.


Gunung Merapi
Legend Of Merapi telah di ceritakan dari generasi ke generasi. Orang-orang mengatakan bahwa asal mula gunung Merapi datang dari seorang raja bernama Merapi yang diangkat setan yang bersembunyi di puncak gunung itu. Sang raja disebut-sebut pernah hidup di dalam gunung. Setelah itu, sang raja disebut meninggal akibat hujan asam yang dipancarkan gunung Merapi.


Raja Merapi merupakan raja pertama di Kraton Yogyakarta, dan ia adalah salah satu dari tiga Raja Yogyakarta pertama yang dikenal sebagai Raja Yogyakarta Raya. Ia sangat terkenal dan diliput baik oleh media lokal maupun @fasional. Sang raja terkenal karena jasadnya tetap kaku meskipun telah meninggal sejak ratusan tahun lalu.

Kisah raja Merapi juga diwarnai oleh kisah-kisah legenda lainnya seperti Sang Naga, Ratu di Puncak Gunung, dan lainnya. Masih ada banyak lagi kisah-kisah menarik tentang Merapi. Namun ada satu kisah yang menarik perhatian yaitu kisah tentang Raden Watu Sirta. Raden Watu Sirta merupakan anak dari Raja Merapi yang dikurung tingal di dalam sebuah makam di puncak bukit. Kisah Watu Sirta akhirnya menyebar ke seluruh Jawa dengan versi-versi berbeda tentang siapa dia, apa yang terjadi padanya, dan apa yang menyebabkan dia ada sekarang.

Kisah asal mula Merapi menjadi sebuah proses belajar dan menyelami mitos-mitos lama yang ada. Ini memberi petunjuk bagaimana rakyat Jawa mengetahui tentang pentingnya menjaga alam, menghormati kekuatan untuk merawat dan menghormati gunung-gunung yang menjadi tempat tinggal para dewa. Di sisi lain, kisah asal mula merapi juga mengingatkan kita untuk menjaga lingkungan yang bebas dari bencana alam sebagai bentuk rasa pakar dan simpati kita terhadap tanah air kita ini.
Kisah Si Kancil dan Buaya

Kisah Si Kancil dan Buaya

 Kisah Si Kancil dan Buaya adalah salah satu cerita rakyat dari Indonesia yang menceritakan tentang kecerdasan si Kancil. Kisah ini menceritakan bagaimana si Kancil berhasil menjebak buaya untuk meloloskan dirinya dari bahaya. Kisah ini pun telah dituliskan oleh para sejarawan nusantara untuk mengingatkan orang tentang kecerdasan dan kekuatan si Kancil untuk mengatasi musuhnya.


Kisah ini dimulai ketika seekor Kancil yang suka bermain-main di sungai ketika melihat seekor Buaya yang berniat untuk memakannya. Si Kancil tahu bahwa ia tidak dapat mengalahkan buaya itu sendiri dan ia berpikir cepat. Kancil lalu berpikir bahwa ia harusnya bisa mengelabui Buaya dengan cara tertentu.

Ia lalu mencari batu di sekitar dan membuat jebakan untuk mengelabui Buaya. Kancil meletakkan beberapa batu yang tidak jauh dari sungai dan bersembunyi di belakangnya. Ketika si Buaya datang, ia melihat batu-batu itu dan langsung mendekat untuk merubahnya menjadi makanannya.

Kancil lalu berlari keluar dari tempat perlindungannya dan menuntun Buaya menuju sungai. Ia mengajak Buaya untuk mencumbu sungai dan berenang bersama. Melihat Kancil dengan tindakannya yang berani, Buaya lalu tertipu dan dia pun ikut berenang bersama Kancil. Keberanian Kancil dan aksinya telah menyelamatkannya dari bahaya yang mengancamnya.

Kisah Si Kancil dan Buaya sebenarnya memberi pelajaran penting, yaitu bahwa meskipun kita berada di bawah, itu tidak berarti kita tidak memiliki kekuatan untuk mengatasi tantangan. Selain itu, kisah ini juga mengajarkan kita untuk selalu berpikir cepat ketika terdapat bahaya dan untuk menggunakan cara-cara kreatif untuk menjaga diri.

Sultan Thaha Syaifuddin

 The Kesultanan Jambi under Sultan Thaha Syaifuddin, a member of the Boru Panggoaran dynasty, was one of the larger Islamic states on the east coast of Sumatra, Indonesia. This sultanate was established in 1661 and lasted until the 19th century when the Dutch colonial government signed the Treaty of London, ending the sultanate.


Sultan Thaha Syaifuddin was born in 1607 and was the son of Sultan Alimuchsyach Syaifuddin. He succeeded to the throne after the death of his father in 1661 and was known for consolidating and strengthening the kingdom of Jambi. During his reign, he established a maritime policy with other kingdoms of the region, such as Palembang, Pahang, and Aceh. He actively traded with the Dutch East India Company (VOC) and other foreign trading companies, which helped to grow the region’s economy.

Sultan Thaha Syaifuddin
Sultan Thaha also improved the civic infrastructure of Jambi. He developed a system of irrigation, which enabled the sultanate to produce more agricultural products. He built the city's first mosque, Masjid Agung Jambi, in 1680, as well as two other royal mausoleums and several Islamic schools.


Sultan Thaha died in 1688 at the age of 81, leaving the throne to his son-in-law, Sultan Ahmad Syamsuddin. The reign of Sultan Thaha was a period of peace, economic growth, and cultural advancement in the sultanate of Jambi. His legacy is still remembered in the province of Jambi, as evidenced by local traditions and folklore.

Kisah Putri Pisang Masak Jambi

 Putri Pisang Masak Jambi adalah dongeng rakyat dari pulau Jawa yang bercerita tentang seorang putri pisang yang menghabiskan hidupnya di Gunung Kanaka di bagian depan keraton di Jambi. Kisah ini menceritakan bagaimana seorang putri pisang, seorang putri Lebokattina, berhasil melawan kejahatan kerajaan Jambi.


Putri Pisang tampak seperti malaikat. Dia memiliki rambut pirang, kulit putih bersih, dan mata yang sayu. Dia adalah seorang yang sangat cantik. Ia tinggal di sebuah goa di Gunung Kanaka yang terletak di bagian depan keraton. Putri terpencil ini tidak tahu kalau ia adalah seorang putri.

Suatu hari Raja Jambi mendengar tentang Putri Pisang dan menuju goa untuk menemuinya. Dengan percaya diri ia memutuskan bahwa ia adalah Putri Lebokattina. Ia meminta Putri Pisang untuk mengikuti kembali ke istananya untuk mengembalikan kerajaan yang telah jatuh di bawah pemerintahan kejahatan. Putri Pisang segera menyetujuinya dan mengikuti Raja Jambi ke keratan.


Ketika mereka tiba di istana, Putri Pisang dikomandoi oleh Raja Jambi untuk memimpin pasukan kerajaan untuk melawan kejahatan. Putri Pisang menyambut tantangan ini dengan semangat dan mengambil alih pasukan kerajaan.

Pasukan kerajaan memutuskan berkumpul di Gunung Kanaka. Putri Pisang memimpin pasukan dengan kepandaiannya dan menaklukkan musuh. Dia adalah seorang pemimpin yang hebat yang membawa kemenangan dalam peperangan.

Sepanjang perjuangan Putri Pisang, ia terkenal karena kepintarannya. Semua orang yang mendengar tentang keberhasilan Putri Pisang memuji-muji kepandaiannya. Sebagai upeti pemenangan, Raja Jambi membuat Putri Pisang menjadi Putri Lebokattina. Dengan kerajaan terbebas dari kekacaun, Putri Pisang menikah dengan kekasih hatinya dan menikmati kehidupan bahagia dengan menjadi Putri Lebokattina di Jambi.

Masjid Al Ikhsaniyyah Jambi

 Masjid Al Ikhsaniyyah Jambi is a historic mosque located in Jambi, Sumatra, Indonesia. Built in 1630 by the Sultanate of Jambi, the mosque is considered to be one of the oldest and most important Islamic religious sites in the region.


Having been built in the early 17th century, Masjid Al Ikhsaniyyah pays homage to a period in time when Islam and Javanese culture filtered through Jambi. Reflective of its origin story, the mosque is an architectural mashup of Javanese, Malay and Chinese influences. Constructed by the first Sultan of Jambi, Syaifu Az-Zahr, Masjid Al Ikhsaniyyah is located in a residential area on the banks of the Sungai Jambi river.

The mosque is a well-known landmark and a spiritual center in the city and has been a major religious site for Muslims from the surrounding area since its creation. Though the mosque has withstood the test of time and still retains its original essence, restoration and renovation to ensure its upkeep have been undertaken since its creation.

Built on top of a hill, the internal courtyard (Sahn) of the mosque is surrounded by a perimeter of arches and grand arches, with five sections of the mosque cascading down to its entrance. The main prayer hall features an impressive mihrab (prayer niche) and a marble pulpit (minbar). The roof has several of its own unique characteristics and features, including wooden ribbed panels, skylights and four large central dome surrounded by four smaller domes.

Masjid Al Ikhsaniyyah is also a mainstay of culture in Jambi, and hosts weekly events and special exhibitions, as well as annual religious celebrations. Masjid Al Ikhsaniyyah is open to visitors from all faiths and backgrounds, and is an important landmark of Jambi’s Islamic history.
Masjid Al Ikhsaniyyah Jambi

Back To Top