Ceritane Wong, Cerita Rakyat, Dongeng, Artikel

Filosofi Dan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

 

1. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat

Dari beragam pengertian tentang pemberdayaan yang telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa pèmberdayaan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat, dengan atau tanpa dukungan pihak luar, untuk memperbaiki kehidupannya yang berbasis kepada daya mereka sendiri, melalui upaya optimasi daya serta peningkatan posisi-tawar yang dimiliki, dengan perkataan lain, pemberdayaan harus menempatkan kekuatan masyarakat sebagai modal utama serta menghindari "rekayasa" pihak luar yang seringkali mematikan kemandirian masyarakat setempat. Dalam konteks Ini, pemberdayaan masyarakat oleh Slamet (2000) diartikan sebagai proses penyuluhan pembangunan yang oleh Mardikanto (2003) diartikan sebagai:

Proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang partisipatij; agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan.

Merujuk pada pengertian tersebut, maka filofosi pembcrdayaan dapat digali dengan menggunakan konsep-konsep filosofi penyuluhan.

Dalam khasanah kepustakaan tentang penyuluhan, banyak kita jumpai beragam falsafah yang oleh Ensminger (1962) dicatat adanya 11 (sebelas) rumusan tentang falsafah penyuluhan,

Di Amerika Serikat juga telah lama dikembangkan falsarah 3-T: teach, truth, and trust (pendidikan, kebenaran dan kepercayaan/keyakinan). Artinya, pemberdayaan merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah diyakini, dengan perkataan lain, dalam pemberdayaan, masyarakat dididik untuk menerapkan setiap inovasi (informasi baru) yang telah diuji kebenarannya dan telah diyakini akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non ekonomi) bagi perbaikan kesejahteraannya.

Rumusan lain yang lebih tua dan nampaknya paling banyak dikemukakan oleh banyak pihak dalam banyak kesempatan adalah, yang dikutip Kelsey dan Hearne (1955) yang menyatakan bahwa falsafah pemberdayaan harus berpijak kepada pentingnya pengembangan individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya, karena itu, ia mengemukakan bahwa: falsafah pemberdayaan adalah: bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia (helping people to help them-selves).

Tentang hal ini, Supadi (2006) memberikan catatan bahwa dalam budaya feodalistik, pihak yang membantu selalu ditempatkan pada kedudukan yang "lebih tmggi" dibanding yang dibantu. Pemahaman seperti itu, sangat kontradiktif dengan teori pendidikan kritis untuk pembebasan; oleh karena itu, pemahaman konsep "membantu masyarakat agar dapat membantu dirinya sendiri" harus dipahami secara demokratis yang menempatkan kedua-belah pihak dalam kedudukan yang setara.

Dari pemahaman sepefti itu, terkandung pengertian bahwa:

(1)      Penyuluh/fåsilitator harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya bekerja untuk masyarakat (Adicondro, 1990). Kehadiran penyuluh/fasilitator bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat;

(2)     Pemberdayaan tidak boleh menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselcnggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan kemginan-keinginan masyarakat sasarannya;

(3)     Pemberdayaan yang dilaksanakan, harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.

Berkaitan dengan falsafah "helping people to help them-selves " Eller-man (2001) mencatat adanya 8 (delapan) peneliti yang menelusuri teori pemberian bantuan, yaitu:

(1)   Hubungan Penasehat dan Aparat Birokrasi Pemermtah (Albert Hirschman), melalui proses pembelajaran tentang: ide-ide baru, analisis keadaan dan masalahnya yang diikuti dengan tawaran solusi dan minimalisasi konfrontasi/ketegangan yang terjadi: antara aparat pemerintah dan masyarakat, antar sesama aparat, dan antar kelompokkelompok masyarakat yang merasa dirugikan dan yang menimati keuntungan dari kebljakan pemerintah;

(2)   Hubungan Guru dan Murid (John Dewey), dengan memberikan:

a)       kesempatan untuk mengenali pengalamanannya;

b)       stimulus untuk berpikir dan menemukan masalahnya sendin;

c)       memberikan kesempatan untuk melakukan "penelitian",

d)       tawaran solusi untuk dipelajari;

e)       kesempatan untuk menguji idenya dengan aplikasi langsung.

(3)   Hubungan Manajer dan Karyawan (Douglas McGregor), melalui pemberian tanggungjawab sebagai alat kontrol diri (selfcontrole);

(4)   Hubungan Dokter dan Pasien (Carl Rogers), melalui pemberian saran yang konstruktif dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dan atau diusahakannya sendiri.

Uji-coba kegiatan melalui pemberian (lana dan manajemen dari luar, ternyata tidal' akan memberikan hasil yang lebih baik;

(5)   Hubungan Guru Spiritual dan Murid (Soren Kierkegaard), melalui pemahaman bahwa masalah atau kesalahan hanya dapat diketahui oleh yang mengalaminya (diri sendiri).

Guru tidak boleh menonjolkan kelebihannya, tetapi harus merendah diri, siap melayani,dan menyediakan waktu dengan sabar;

(6)   Hubungan Organisator dan Masyarakat (Saul Alinsky), melalui upaya demokratisasi, menumbuh-kembangkan partisipasi, dan mengembang-

kan keyakinan (rasa percaya diri) untuk mcmecahkan masalahnya sendiri;

(7)   Hubungan Pendidik dan Masyarakat (Paulo Freire), melalui proscs penyadaran dan memberikan kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang terbaik menurut dirinya sendiri;

(8)   Hubungan Agen-pembangunan dan Lembaga Lokal (E.F. Schumacher), melalui program bantuan untuk mencermati apa yang dilakukan seseorang (masyarakat) dan membantu agar mereka dapat melakukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan kebutuhan dan kcingmannya.

Mengacu kepada pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses pendidikan, di Indonesia dikenal adanya falsafah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro yang berbunyi:

(1)      Ing ngarso sung tulodo, mampu memberikan contoh atau teladan bagi masyarakat sasarannya (berada di depan);

(2)      Ing madyo mangun karso, mampu menumbuhkan inisiatif dan mendorong kreativitas, serta semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba (berada di tengah);

(3)      Tut wuri handayani, mau menghargai dan mengikuti keinginankeinginan serta upaya yang dilakukan masyarakat masyarakatnya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan perbaikan kesejahteraan hidupnya (berada di belakang).

Masih bertolak dari pemahaman penyuluhan merupakan salah satu sistem pendidikan, Mudjiyo (1989) mengingatkan untuk mengaitkan falsafah pemberdayaan dengan pendidikan yang memiliki falsafah: idealisme, realisme dan pragmatisme, yang berafii bahwa pemberdayaan pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita yang melandasi untuk selalu berfikir kreatif dan dinamis. Di samping itu, pemberdayaan harus selalu mengacu kepada kenyataan-kenyataan yang ada dan dapat ditemui di lapang atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi. Meskipun demikian, pemberdayaan harus melakukan hal-hal terbaik yang dapat dilakukan, dan bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit direalisir.

Lebih lanjut, karena pemberdayaan pada dasarnya harus merupakan bagian Integral dan sekaligus sarana pelancar atau bahkan penentu kegiatan pembangunan, Slamct (1989) menckankan perlunya:

(l) perubahan administrasi pemberdayaan dari yang bersifat "regulat(f sentralistis" mcnjadi "fasilitatifpartisipatif', dan

(2) pentingnya kemauan penyuluh untuk memahami budaya lokal yang seringkali juga mewarnai "local agriculturalpractices".

Pemahaman seperti itu, mengandung pcngertian bahwa:

(1)   Administrasi pemberdayaan tidak selalu dibatasi oleh peraturanperaturan dari "pusat" yang kaku, karena hal ini seringkali menjadikan masyarakat tidak memperoleh keleluasaan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Demikian juga halnya dengan admmistrasi yang tcrlalu "sentralistis " seringkali tidak mampu secara cepat mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang timbul di daerah-daerah, karena masih menunggu "petunjuk" atau restu dari pusat. Di pihak lain, dalam setiap permasalahan yang dihadapi, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh masyarakat seringkali berdasarkan pefiimbangan bagaimana untuk dapat "menyelamatkan keluarganya". Dalam kasus-kasus sepelti itu, seharusnya penyuluh diberi kewenangan untuk secepatnya pula mengambil inisiatifnya sendiri. Karena itu, administrasi yang terlalu "regulatif' seringkali sangat membatasi kemerdekaan masyarakat untuk mengambil keputusan bagi usaha-taninya;

(2)   Penyuluh/fasilitator, selain memberikan "ilmu"nya kepada masyarakat, ia hams mau belajar tentang "ilmu" nya masyarakat yang seringkali dianggap tidak rasional (karena yang dianggap rasional adalah yang sudah menjadi petunjuk pusat), padahal, praktik-praktik kegiatan yang berkembang dari budaya lokal seringkali juga sangat rasional, karena telah mengalami proses "trial and error" dan teruji oleh waktu.

Terkait dengan falsafah pemberdayaan, dalam banyak kesempatan sering disebut-sebut ajaran Lao Tzu (Bartle, 2001) sebagai falsafah atau setidak-tidaknya sebagai pegangan kerja bagi para penyuluh/fasilitator pemberdayaan.

Ajaran tersebut adalah:

Go to the People, Live among them, Learn from them, Start from where they are, Work with them, Build on what they have, But of the best leaders, When the task is accomplished, The work completed. The people all remark: "We have done it ourselves"


"Pergilah kepada mercka (masyarakat), hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mercka, mulailah dari mereka, bckcrjalah bersama mereka, bangunlah di atas apa yang mereka miliki, tctapi sebagai pcmimpin yang terbaik, ketika scmua tugas telala diselesaikan, pekeıjaan telah dilengkapi, mereka (masyarakat) akan mencatat: kami telah menyelesaikannya sendiri”

2. Prinsip-prinsip Pcmberdayaan Masyarakat

Mathews menyatakan bahwa: adalah şuanı pernyataan tentaııg kebijakan yang dijadikan pedoman dalanı pengambilan kepıılıısan dan melaksanakan kegiaian secara konsisten Karena itu, prinsip akan berlaku umum, dapat diterıma secara umum, dan telah diyakini kebenarannya dari berbagai pengamatan dalam kondisi yang beragam. Dcngan demikian dapat dijadikan sebagai landasan pokok yang benar, bagi pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan.

Meskipun "prinsip” biasanya diterapkan dalam dunia akademis, Leagans (1961) menilai bahwa setiap penyuluh/fasilitator dalam melaksanakan kegiatannya harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip pemberdayaan. Tanpa berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah disepakati, seorang penyuluh (apalagi administrator pemberdayaan) tidak mungkin dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.

Bertolak dari pemahaman pemberdayaan sebagai salah satı sistem pendidikan, maka pemberdayaan memiliki prinsip-prinsip:

1)   Mengerjakan, artinya, kegiatan pemberdayaan hanıs sebanyak mungkin melibatkan masyarakat untuk mengerjakan/ menerapkan sesuatu. Karena melalui "mengerjakan” mereka akan mengalami proses belajar (baik dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan keterampilannya) yang akan tems diingat untuk jangka waktu yang lebih lama;

2)   Akibat, artinya, kegiatan pemberdayaan harus memberikan akibat atau pengaruh yang baik atau bermanfaat; karena, perasaan senang/puas atau tidak-senang/kecewa akan mempengaruhi semangatnya untuk mcngikuti kegiatan belajar/ pemberdayaan di masa-masa mendatang;

3)   Asosiasi, artinya, setiap kegiatan pemberdayaan harus dikaitkan dengan kegiatan lainnya, sebab, setiap orang cendenıng untuk mengaitkan/ menghubungkan kcgiatannya dengan kegiatan/ peristiwa yang lainnya. Misalnya, dengan melihat cangkul orang diingatkan kepada pemberdayaan tentang persiapan lahan yang baik; melihat tanaman yang kerdil/subur, akan mengingatkannya kepada usaha-usaha pcmupukan, dll.

Lebih lanjut, Dahama dan Bhatnagar (1980) mengungkapkan prinsip-prinsip pemberdayaan yang lain yang mencakup:

l) Minat dan Kebutuhan, artinya, pemberdayaan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat. Mengenai hal ini, harus dikaji secara mendalam: apa yang benar-benar menjadi minat dan kebutuhan yang dapat menyenangkan setiap individu maupun segenap warga masyarakatnya, kebutuhan apa saja yang dapat dipenuhi sesuai dengan tersedianya sumberdaya, serta minat dan kebutuhan mana yang perlu mendapat prioritas untuk dipenuhi terlebih dahulu;

2)        Organisasi masyara/cat bawah, artinya pemberdayaan akan efektif jika mampu melibatkan/menyentuh organisasi masyarakat bawah, sejak dari setiap keluarga/kekerabatan;

3)        Keragaman budaya, artinya, pemberdayaan harus memperhatikan adanya keragaman budaya. Perencanaan pemberdayaan harus selalu disesuaikan dengan budaya lokal yang beragam. Di lain pihak, perencanaan pemberdayaan yang seragam untuk setiap wilayah seringkali akan menemui hambatan yang bersumber pada keragaman budayanya;

4)        Perubahan budaya, artinya setiap kegiatan pemberdayaan akan mengakibatkan perubahan budaya. Kegiatan pemberdayaan harus dilaksanakan dengan bijak dan hati-hati agar pcrubahan yang terjadi tidak menimbulkan kejutan-kejutan budaya. Karena itu, setiap penyuluh perlu untuk terlebih dahulu memperhatikan nilai-nilai budaya lokal seperti tabu, kebiasaan-kebiasaan;

5)        Kerjasama dan partisipasi, artinya pemberdayaan hanya akan efektif jika mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk selalu bekerjasama dalam melaksanakan program-program pemberdayaan yang telah dirancang;

6)        Demokrasi dalam penerapan ilmu, artinya dalam pemberdayaan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menawar setiap ilmu alternatif yang ingin diterapkan. Yang dimaksud demokrasi di sini, bukan terbatas pada tawar-menawar tentang ilmu alternatif saja, tetapi juga dalam pcnggunaan metoda pemberdayaan, serta proses pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh masyarakat sasarannya;

Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan pemberdayaan harus diupayakan agar masyarakat dapat "belajar sambil bekerja" atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu yang ia kerjakan. Dengan perkataan lain, pemberdayaan tidak hanya sekadar menyampaikan informasi atau konsep-konsep teoritis, tetapi harus memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk mencoba atau memperoleh pengalaman melalui pelaksanaan kegiatan secara nyata; Penggunaan metoda yang sesuai, artinya pemberdayaan harus dilakukan dengan penerapan metoda yang selalu disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai sosial budaya) sasarannya. Dengan perkataan lain, tidak satupun metoda yang dapat diterapkan di scmua kondisi sasaran dengan efektif dan efisien; Kepemimpinan, artinya, penyuluh tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang hanya bertujuan untuk kepentingan/kepuasannya sendiri, dan harus mampu mengembangkan kepemimpinan. Dalam hubungan ini, penyuluh sebaiknya mampu menumbuhkan pemimpin-pemimpin lokal atau memanfaatkan pemimpin lokal yang telah ada untuk membantu kegiatan pemberdayaannya;

Spesialis yang terlatih, artinya, penyuluh harus benar-benar pribadi yang telah memperoleh latihan khusus tentang segala sesuatu yang sesuai dengan fungsinya sebagai penyuluh. Penyuluh-penyuluh yang disiapkan untuk menangani kegiatan-kegiatan khusus akan Iebih efektif dibanding yang disiapkan untuk melakukan beragam kegiatan (meskipun masih berkaitan dengan kegiatan pertanian);

Segenap keluarga, artinya, penyuluh harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial. Dalam hal im, terkandung pengertian-pengertian:

a)      Pemberdayaan harus dapat mempengaruhi segenap anggota keluarga;

b)      Setiap anggota keluarga memiliki peran/pengaruh dalam sctiap pengambilan keputusan;

c)      Pemberdayaan harus mampu mengembangkan pemahaman bersama;

d)      Pemberdayaan mengajarkan pengelolaan keuangan keluarga;

e)      Pemberdayaan mcndorong keseimbangan antara kebutuhan keluarga dan kebutuhan usahatani;

f)       Pemberdayaan harus mampu mendidik anggota keluarga yang masih muda;

g)      Pemberdayaan harus mengembangkan kegiatan-kegiatan keluarga, memperkokoh kesatuan keluarga, baik yang menyangkut masalah sosial, ekonomı, maupun budaya;

h)      Mengembangkan pelayanan keluarga terhadap masyarakat-nya.

12) Kepuasan, artinya, pemberdayaan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan. Adanya kepuasan, akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program pemberdayaan selanjutnya.

Terkait dengan pergeseran kebijakan pembangunan pertanian dari peningkatan prodüktivitas usahatani ke arah pengembangan agribisnis, dan di lain pihak seiring dengan terjadinya perubahan sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia, telah muncul pemikiran tentang prinsip-prinsip (Soedijanto, 2001):

1)        Kesukarelaan, artinya, keterlibatan sescorang dalam kegiatan pemberdayaan tidak boleh berlangsung kareına adanya pemaksaan, melainkan harus dilandasi oleh kesadaran sendiri dan motivasinya untuk memperbaiki dan memecahkan masalah kehidupan yang dirasakannya;

2)        Otonom, yaitu kemampuannya untuk mandiri atau melepaskan diri dari ketergantungan yang dimiliki oleh setiap individu, kelompok, maupun kelembagaan yang lain;

3)        Keswadayaaıı, yaitu kemampuannya untuk merumuskan melaksanakan kegiatan dengan penuh tanggungjawab, tanpa menunggu atau mengharapkan dukungan pihak luar;

4)        Partisipatif, yaitu keterlibatan semua stakeholders sejak pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pemanfaatan hasil-hasil kegiatannya;

5)        Egaliter, yang menempatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) dalam kedudukan yang şetara, sejajar, tidak ada yang ditinggikan dan tidak ada yang merasa direndahkan;

6)        Demokrasi, yang memberikan hak kepada semua pihak untuk mengemukakan pendapatnya, dan saling menghargai pendapat maupun perbedaan di antara sesama stakeholders;

7)        Keterbııkaan, yang dilandasi kejujuran, saling percaya, dan saling mempedulikan;

8)        Kebersamaan, untuk saling berbagi rasa, saling membantu dan mengembangkan sinergisme;

9)        Akuntabilitas, yang dapat dipeltanggungiawabkan dan terbuka untuk diawasi oleh siapapun;

10)     Desentralisasi, yang memberi kewenangan kepada setiap daerah otonom (kabupaten dan kota) untuk mengoptimalkan sumberdaya pertanian bagi sebesar-besar kemakmuran masyarakat dan kesinambungan pembangunan.

3. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa "pemberdayaan" merupakan implikasi dari strategi pembangunan yang berbasis pada masyarakat (people centered development). Terkait dengan hal ini, pembangunan, apapun pengertian yang diberikan terhadapnya, selalu merujuk pada upaya perbaikan, terutama perbaikan pada mutu-hidup manusia, baik secara fisik, mental, ekonomi maupun sosial-budaya-nya.

Selaras dengan hal itu, dalam pembangunan pertanian, tujuan pemberdayaan diarahkan pada terwujudnya perbaikan teknis bertani (better farming), perbaikan usahatani (better business), dan perbaikan kehidupan petani dan masyarakatnya (better living).

Dari pengalaman pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan di Indonesia selama tiga-dasawarsa terakhir, menunjukkan bahwa, untuk mencapai ketiga bentuk perbaikan yang disebutkan di atas masih memerlukan perbaikan-perbaikan Iain yang menyangkut (Deptan, 2002):

l) Perbaikan kelembagaan pertanian (better organization) demi terjalinnya kerjasama dan kemitraan antar stakeholders. Sebagai contoh, dapat disampaikan pengalaman pelaksanaan Intensifikasi Khusus (INSUS), di mana inovasi sosial yang dilakukan melalui usahatani berkelompok mampu menembus kemandegan kenaikan produktiivitas (leveling o/J) yang dicapai melalui inovasi teknis;

2)         Perbaikan kehidupan masyarakat (beller community), yang tercermin dalam perbaikan pendapatan, stabilitas keamanan dan politik, yang sangat diperlukan bagi terlaksananya pembangunan pertanian yang merupakan sub-sistem pembangunan masyarakat (community development). Tentang hal ini, pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan pertanian tidak dapat berlangsung seperti diharapkan, manakala petani tidak memiliki cukup dana yang didukung oleh stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan bidang dan sektor kehidupan yang lain. Sebaliknya, pembangunan pertanian menjadi tidak berarti manakala tidak memberikan perbaikan kepada kehidupan masyarakatnya;

3)    Pcrbaikan usaha dan lingkungan hidup (better environment) demi kelangsungan usahataninya. Tentang hal ini, pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan dan tidak seimbang telah berpengaruh negatip terhadap produktivitas dan pendapatan petani, secara kerusakan lingkungan-hidup yang lain, yang dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan (sustainability) pembangunan pertanian itu sendiri.

Di samping itu, Mardikanto (2002) menambah satu hal lagi yang menyangkut pentingnya perbaikan aksesibilitas petani dan pemangku kepentingan (stakeholders) pembangunan pertanian yang lain (better accessibility), baik terhadap sumber inovasi, input usahatani (kredit, sarana produksi, alat dan mesin pertanian), pasar dan jaminan harga, serta pengambilan keputusan politik.

Hal ini terutama dilandasi oleh pernyataan Hadisapoetro (1998) yang menyebutkan bahwa petani-petani kecil yang merupakan pelaku-utama pembangunan pertanian di Indonesia pada umumnya termasuk golongan ekonomi-lemah, yang lemah dalam hal permodalan, penguasaan dan penerapan teknologi, dan seringkali juga lemah semangatnya untuk maju, karena seringkali dijadikan obyek pemaksaan oleh birokrasi maupun penyuluhnya sendiri (Soewardi, 1986).

Lebih lanjut, World Bank (2002) mensyaratkan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk terjammnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menyangkut:

1)   Perbaikan modal finansial, berupa perencanaan ekonomi-makro dan pengelolaan fiskal

2)   Perbaikan modal fisik, berupa prasarana, bangunan, mesin, dan juga pelabuhan;

3)   Perbaikan modal SDM, berupa perbaikan kesehatan dan pendidikan yang relevan dengan pasar-kerja;

4)   Pengembangan modal-sosial, yang menyangkut: keterampilan dan kemampuan masyarakat, kelembagaan, kemltraan, dan norma hubungan sosial yang lain;

5)        Pengelolaan sumberdaya alam, baik yang bersifat komersial maupun nonkomersial bagi perbaikan kehidupan manusia termasuk: air-bersih, energi, serat, pengelolaan limbah, stabilitas iklim, dan beragam layanan penunjangnya.

Mengacu kepada konsep-konsep di atas, maka tujuan pemberdayaan meliputi beragam upaya perbaikan sebagai berikut:

(1)      Perbaikan pendidikan (bełter education) dałam arti bahwa pemberdayaan harus dirancang sebagai suatu bentuk pendidikan yang lebih baik. Perbaikan pcndidikan yang dilakukan melalui pemberdayaan, tidak terbatas pada: perbaikan materi, perbaikan metoda, perbaikan yang menyangkut tempat dan waktu, serta hubungan fasilitator dan penerima manfaat; tetapi yang lebih penting adalah perbaikan pendidikan yang mampu menumbuhkan semangat belajar seumur hidup;

Perbaikan pendidikan (bełter education) dałam arti bahwa pemberdayaan harus dirancang sebagai suatu bentuk pendidikan yang lebih baik. Perbaikan pcndidikan yang dilakukan melalui pemberdayaan, tidak terbatas pada: perbaikan materi, perbaikan metoda, perbaikan yang menyangkut tempat dan waktu, serta hubungan fasilitator dan penerima manfaat; tetapi yang lebih penting adalah perbaikan pendidikan yang mampu menumbuhkan semangat belajar seumur hidup;



(2)      Perbaikan aksesibilitas (bełter accessibility)

Dengan tumbuh dan berkembangnya semangat belajar seumur hidup, diharapkan akan memperbaiki aksesibilitasnya, ułamanya tentang aksesibilitas dengan sumbcr informasi/ inovasi, sumber pembiayaan, penyedia produk dan peralatan, lembaga pemasaran;

(3)      Perbaikan tindakan (better action)

Dengan berbekal perbaikan pendidikan dan perbaikan aksesibilitas dcngan beragam sumberdaya yang lebih baik, diharapkan akan terjadi tindakan-tindakan yang semakin lebih baik,

(4)      Perbaikan kelembagaan (better institution)

Dengan perbaikan kegiatan/tindakan yang dilakukan, diharapkan akan memperbaiki kelembagaan, termasuk pengcmbangan jejaring kemitraan-usaha;

(5)      Perbaikan usaha (better business)

Perbaikan pendidikan (semangat belajar), perbaikan aksesibilitas, kegiatan, dan pcrbaikan kelembagaan, diharapkan akan mempcrbaiki bisnis yang dilakukan;

(6)      Perbaikan pendapatan (better income)

Dengan terjadinya perbaikan bisnis yang dilakukan, diharapkan akan dapat memperbaiki pendapatan yang diperolehnya, termasuk pendapatan keluarga dan masyarakatnya;

(7)      Perbaikan lingkungan (better environment)

Perbaikan pendapatan diharapkan dapat memperbaiki lingkungan (fisik dan sosial), karena kerusakan lingkungan seringkali disebabkan oleh kemiskinan atau pendapatan yang terbatas;

(8)      Perbaikan kehidupan (better living)

Tingkat pendapatan dan keadaan lingkungan yang membaik, diharapkan dapat memperbaiki keadaan kehidupan setiap keluarga dan masyarakat;

(9)      Perbaikan masyarakat (better community)

Keadaan kehidupan yang lebih baik, yang didukung oleh lingkungan (fisik dan sosial) yang lebih baik, diharapkan akan terwujud kchidupan masyarakat yang lebih baik pula.

0 Komentar untuk "Filosofi Dan Prinsip Pemberdayaan Masyarakat"

Back To Top